Meneladani Pangeran Benawa: Antara Kekuasaan, Kepedulian, Ketulusan dan Pengorbanan

...hidup dengan kewajaran, menjaga kesederhanaan dan rendah hati, baik ketika berada di puncak maupun saat menghadapi kesulitan, serta tidak melupakan asal-usul dan nilai-nilai spiritual yang menjadi dasar hidup...

Pangeran Benawa, seorang figur bersejarah dari Kerajaan Pajang, merupakan sosok yang inspiratif dan patut diteladani dalam kancah sejarah Jawa. Sebagai putra Sultan Hadiwijaya, atau yang lebih dikenal sebagai Jaka Tingkir, Pangeran Benawa lahir dan tumbuh dalam lingkungan kerajaan yang penuh dengan intrik dan kekuasaan. Sultan Hadiwijaya sendiri adalah pendiri Kerajaan Pajang, sebuah kerajaan yang memainkan peran kunci dalam sejarah Jawa pada masa itu. Pangeran Benawa, sebagai putra mahkota, dibesarkan dalam lingkungan yang mengharapkannya untuk meneruskan warisan dan kejayaan ayahnya. Kehidupannya di istana tidak hanya dipenuhi dengan pendidikan tentang tata negara dan kepemimpinan, tetapi juga pelajaran tentang tanggung jawab sebagai pemimpin yang akan datang.

Di tengah ketidakstabilan politik yang menggoyahkan Kerajaan Pajang pasca wafatnya Sultan Hadiwijaya, Pangeran Benawa menghadapi keputusan yang sangat berat. Sebagai putra mahkota, secara alamiah ia adalah pewaris takhta. Namun, situasi menjadi rumit dengan adanya ambisi dan nafsu kekuasaan para menantu Sultan Hadiwijaya yang dipimpin oleh Arya Pangiri, sang Adipati Demak, yang juga menginginkan takhta Pajang. Adipati Demak, bersama dengan adipati lainnyaa yaitu Adipati Tuban, Adipati Surabaya, dan Adipati Madura, menunjukkan eksistensinya menjadi kekuatan tandingan calon penerus Kasultanan Pajang. 

Pangeran Benawa menyadari potensi perebutan kekuasaan atas adanya aliansi ini. Situasi yang kompleks dan potensi perang saudara menimbulkan dilema besar baginya. Kesadaran akan risiko perang saudara bukanlah sekadar kekhawatiran akan pertumpahan darah dan kehancuran, tetapi lebih jauh lagi, ia mengkhawatirkan penderitaan yang akan dialami oleh rakyatnya yang sebenarnya tidak terlibat dalam pertarungan elit politik tersebut. Pangeran Benawa memahami bahwa kekuasaan bukan hanya tentang tahta dan kehormatan, tetapi juga tentang tanggung jawab besar terhadap keselamatan dan kesejahteraan rakyat. 

Dalam suasana politik yang memanas, Pangeran Benawa mengambil langkah yang tidak biasa untuk seorang calon penguasa: ia memilih untuk tidak naik takhta. Pangeran Benawa memilih untuk mengesampingkan ambisi pribadi dan mengutamakan keharmonisan dan stabilitas kerajaan. Keputusan ini bukanlah keputusan yang mudah, mengingat tekanan dan ekspektasi yang ada pada dirinya sebagai pewaris kerajaan. Pangeran Benawa tidak ingin rakyatnya terjebak dalam konflik internal yang akan mengakibatkan kerugian dan kesengsaraan rakyat banyak. Baginya, kekuasaan yang diperoleh dengan harga penderitaan rakyat bukanlah kekuasaan yang sejati.

Pangeran Benawa memutuskan untuk melepaskan haknya atas tahkta Pajang dan menyerahkan kepemimpinan kepada kakak iparnya yaitu Adipati Demak. Sementara dirinya, diangkat menjadi adipati di Jipang Panolan.

Keputusan ini membuat ibunda Pangeran Benawa, yaitu Ratu Ayu Cempaka, terpukul, sedih dan kecewa. Baginya, Pangeran Benawa adalah satu-satunya harapan untuk melanjutkan kepemimpinan Pajang. Namun, Ratu Ayu Cempaka menunjukkan kebijaksanaan dan pemahaman yang mendalam terhadap realitas politik yang dihadapi oleh Pangeran Benawa. Dalam momen kritis ini, Ratu Ayu Cempaka mengingatkan putranya tentang tanggung jawab yang lebih besar dalam menghadapi ketidakadilan. Pesannya kepada Pangeran Benawa, bahwa jika Adipati Demak berlaku tidak adil sebagai pemimpin, maka menjadi kewajiban Pangeran Benawa untuk bertindak.

Kerajaan Pajang memasuki era baru di bawah pemerintahan Arya Pangiri yang bergelar Sultan Ngawantipura. Berbeda dengan pendahulunya, Sultan Ngawantipura tidak memprioritaskan kesejahteraan rakyatnya. Fokus utama pemerintahannya adalah pada upaya untuk menaklukkan Mataram, sebuah ambisi yang membelokkan perhatiannya dari kebutuhan dasar rakyat Pajang. Ketidakadilan dalam kebijakan-kebijakannya juga terlihat dari perlakuan terhadap penduduk asli Pajang, yang banyak di antaranya menjadi perampok atau terpaksa pindah akibat kehilangan mata pencaharian mereka. Pertanian, sebagai tulang punggung ekonomi kerajaan, terbengkalai akibat banyaknya rakyat yang dipaksa menjadi prajurit. Hal ini berdampak pada meluasnya penurunan produksi pertanian dan kesulitan ekonomi. Perdagangan pun menjadi lesu karena peristiwa ini.

Melihat situasi sulit yang dihadapi oleh rakyat Pajang di bawah kepemimpinan Sultan Ngawantipura, Pangeran Benawa memutuskan menyampaikan situasi ini kepada Panembahan Senopati, pemimpin Perdikan Mataram sekaligus saudara angkatnya. Panembahan Senopati, yang sebelumnya dikenal sebagai Danang Sutawijaya, adalah putra dari Ki Ageng Pemanahan, sahabat dekat Sultan Hadiwijaya. Karena jasa-jasanya dalam membantu mengalahkan Arya Penangsang, Danang Sutawijaya diangkat menjadi anak oleh Sultan Hadiwijaya, menjadikan Panembahan Senopati dianggap seperti saudara kandung bagi Pangeran Benawa semenjak kecil. Pangeran Benawa menyadari bahwa situasi di Pajang memerlukan intervensi, dan ia memandang Panembahan Senopati sebagai sekutu penting yang dapat membantu mengembalikan kestabilan dan kesejahteraan di kerajaan.

Situasi politik di Pajang mencapai titik kritis. Pangeran Benawa teringat akan nasihat ibundanya bahwa ia harus berdiri untuk menegakkan keadilan dan kesejahtaraan atas rakyat Pajang. Ia terdorong untuk mengambil tindakan. Pangeran Benawa yang beraliansi dengan Panembahan Senopati, berunding dan memutuskan untuk menyerbu Pajang. Keputusan ini bukan sekadar perebutan kekuasaan, tetapi lebih merupakan upaya untuk mengembalikan keadilan dan ketertiban di Pajang. Akhirnya, gabungan pasukan Mataram dan Jipang berhasil menurunkan Sultan Ngawantipura dari takhtanya.

Setelah berhasil mengalahkan Sultan Ngawantipura, Pangeran Benawa dihadapkan pada keputusan penting lainnya: apakah akan mengambil alih tahta Kesultanan Pajang atau tidak. Meskipun memiliki hak yang sah atas takhta sebagai putra Sultan Hadiwijaya, Pangeran Benawa tidak langsung mengambil keputusan. Ia mempertimbangkan banyak faktor sebelum memutuskan masa depan Pajang.

Pangeran Benawa berkehendak agar Panembahan Senopati menjadi Raja Pajang dan mengizinkan pemindahan pusat pemerintahan dari Pajang ke Mataram. Keputusan ini didasari oleh keinginan Pangeran Benawa untuk mewujudkan wasiat Sultan Hadiwijaya dan ramalan Sunan Giri Prapen tentang munculnya sebuah negeri besar di Mataram. Wasiat ini bukan hanya tentang pergantian kepemimpinan, tetapi juga tentang penggabungan dua kekuatan besar di Jawa untuk membentuk sebuah kerajaan yang lebih kuat dan stabil. Sementara itu, Pangeran Benawa, telah lama ingin mengejar ketentraman jiwa dan mendalami ajaran Islam serta menyebarkannya ke seluruh Jawa, mengikuti jejak Sunan Kalijaga.

Panembahan Senopati ragu untuk menerima takhta Pajang karena khawatir akan dianggap ambisius dan mengambil keuntungan dari situasi pasca perang. Walaupun akhirnya, dengan persetujuan Pangeran Benawa, ia akhirnya menerima posisi tersebut, dengan kesadaran bahwa langkah ini akan membawa Pajang ke era baru di bawah kepemimpinan Mataram. Akan tetapi untuk memastikan transisi kekuasan berjalan lancar dan stabil tanpa menimbulkan gejolak yang berarti karena perpindahan kerajaan ke Mataram, Pangeran Benawa memutuskan untuk naik tahkta. Ia kemudian menjadi Sultan Pajang bergelar Sultan Prabuwijaya dan hanya akan memerintah hanya dalam waktu satu tahun sebelum lengser keprabon dan menyerahkan kepemimpinan ke Panembahan Senopati.

Panembahan Senopati, dalam menghormati dan memuliakan Pangeran Benawa dan keturunannya, mengusulkan perkawinan strategis antara putranya, Raden Mas Jolang, dengan putri sulung Pangeran Benawa, Dyah Banowati. Perkawinan ini tidak hanya memperkuat hubungan politik antara Pajang dan Mataram, tetapi juga menjadi titik balik penting dalam sejarah Jawa. Kelak dari pernikahan ini, lahir Raden Mas Rangsang, yang kelak menjadi Sultan Agung Hanyakrakusumo, salah satu raja terbesar dalam sejarah Mataram Islam.

Kisah Pangeran Benawa mengajarkan bahwa kebahagiaan hidup tidak selalu bergantung pada kedudukan atau kekayaan duniawi. Pilihan Pangeran Benawa untuk mengejar ketentraman spiritual dengan mendalami ajaran islam daripada kekuasaan politik menunjukkan bahwa kepuasan batin dan ketenangan jiwa sering kali ditemukan di luar ambisi dan keinginan material. Kehidupan Pangeran Benawa mengingatkan kita untuk selalu hidup dengan kewajaran, menjaga kesederhanaan dan rendah hati baik ketika berada di puncak maupun saat menghadapi kesulitan, serta tidak melupakan asal-usul dan nilai-nilai spiritual yang menjadi dasar hidup.


Komentar