Dalam riwayat panjang penyebaran agama Islam di tanah Jawa, dua nama yang tak terlupakan adalah Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus. Keduanya memiliki misi yang mulia: menyebarluaskan ajaran Islam di tanah jawa. Namun, di tengah upaya mereka untuk memperkuat agama dan membangun komunitas islam, tanpa sengaja, mereka seakan "terjebak" dalam perangkap kompleks kemelut politik Kasultanan Demak.
Masa pemerintahan Sultan Trenggono di Kasultanan Demak merupakan puncak dari kejayaan dan kekuatan kerajaan tersebut. Namun, gejolak tak terduga muncul ketika Sultan Trenggono wafat di medan tempur Panarukan. Setelah kematiannya, takhta kerajaan Demak digantikan oleh anak pertamanya, Sunan Prawoto. Namun, masa pemerintahan Sunan Prawoto tidak berjalan mulus. Banyak kadipaten dari brang wetan yang melepaskan diri dari kekuasaan Demak, dan kemunduran pemerintahan pun menjadi kenyataan.
Sejarah menjadi semakin rumit ketika fakta kelam tentang masa lalu muncul ke permukaan. Ayah dari Arya Penangsang, yaitu Pangeran Sekar atau Raden Surowiyoto, seharusnya menjadi pewaris takhta resmi Kasultanan Demak sepeninggal eyang Raden Patah. Namun, sebelum di angkat menjadi raja, nyawa Pangeran Sekar dicabut oleh tangan Sunan Prawoto.
Di tengah situasi pemerintahan Sunan Prawoto yang tidak terlalu baik, Arya Penangsang, yang merasa dendam atas pembunuhan ayahnya, berencana menuntut balas dengan memerintahkan abdi setianya, Rangkut, untuk membunuh Sunan Prawoto.
Kekosongan takhta kembali terjadi, dan perdebatan tentang siapa yang berhak menjadi Sultan semakin sengit.
Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus adalah "kawan seperjuangan". Keduanya bekerja bersama dalam penyebaran Islam dan memainkan peran penting sebagai penasehat, tetua, dan tokoh yang dihormati di keluarga Kasultanan Demak. Namun, mereka mereka berada di dua sisi pandangan yang berlawanan dalam perjuangan suksesi takhta kasultanan.
Sunan Kalijaga, sebagai penasihat keluarga inti Sultan, mendukung garis keturunan keluarga Sultan. Namun, ia tidak sepenuhnya setuju jika Arya Penangsang naik takhta meskipun ia adalah cucu dari sultan demak pertama, Raden Patah. Dia melihat Pangeran Hadliri, menantu dari Sultan Trenggono, suami dari Ratu Kalinyamat putri ketiga Sultan Trenggono, sebagai calon yang layak untuk mewarisi takhta Demak. Sementara, Arya Penangsang harus bertanggung jawab atas perannya dalam pembunuhan Sunan Prawoto.
Di sisi lain, Sunan Kudus memiliki pandangan yang berbeda. Sebagai paman dari jalur ibu sekaligus guru Arya Penangsang, ia merasa bahwa Arya Penangsang adalah pewaris takhta yang sah. Sunan Kudus beranggapan bahwa raja Kasultanan Demak seharusnya keturunan laki-laki langsung Sultan Demak dan ia ingin menghormati hak-hak Arya Penangsang sebagai cucu Raden Patah. Ia berpendapat bahwa Arya Penangsang hanya ingin menuntut balas atas kematian ayahnya dan Arya Penangsang tidak sepenuhnya bersalah dalam pembunuhan Sunan Prawoto.
Situasi ini mencerminkan kompleksitas politik pada masa itu, di mana faktor keturunan, loyalitas, dan dendam saling bertabrakan dalam menentukan siapa yang berhak menjadi penguasa. Kedua tokoh agama ini yang bersama-sama menyebarkan ajaran Islam, tanpa disadari, ditarik ke dalam pusaran kebijakan politik yang menguji prinsip-prinsip agama dan kebijaksanaan mereka. Peristiwa ini menunjukkan bahwa sejarah tidak selalu hitam-putih, dan tokoh-tokoh penting seperti Sunan Kalijaga dan Sunan Kudus pun tidak terlepas dari dilema dan konflik dalam menjalankan peran mereka.
Komentar
Posting Komentar