Titik Awal

Maafkan aku warga Twitter, mungkin malam ini aku akan lebay. Malam akhir November 2020 ini gak bisa tidur bingung mau ngapain. Yawes, pengen aja nulis random di google docs, membangkitkan hobi lama juga. Ya walaupun sebenarnya bisa saja nyicil revisi paper yang harus segera dikirim ke editor, tapi sek lah. 

Teruntuk istriku, maaf kemarin lupa ngucapin ulang tahun. Sebagai bentuk permintaan maaf, aku menulis tentang kamu aja ya, maaf juga kalau memalukan (kau kan gak punya Twitter, hehe)

Maaf juga pakai foto lama, 4 tahun lalu buset. Btw terimakasih teman teman HMAB.



Seringkali aku berpikir, perjalananku meyakinkan dia adalah sebuah kisah panjang yang melelahkan. Bagaimana tidak, memperjuangkan cinta pertama sejak awal SMP dan memendamnya sampai akhir SMA bukanlah waktu yang singkat. 

Bersekolah di SMP dan SMA yang sama, membuat kita saling tahu aktivitas masing-masing di sekolah. Bagiku, hal ini semakin menguatkan perasaanku padanya, tapi tak jarang, aku juga sakit hati, iya, sakit sekali. Merasa baik-baik saja ketika dia dekat dengan teman laki-laki seangkatan, sudah biasa terjadi. Berlagak biasa saja ketika tiap pagi melihat dia dibonceng kakak kelas, ya mau gimana lagi?. Niat hati ingin dekat, tak ada respon, justru dia ilfeel. Sakit sih, tapi apalah arti sakit hati jika hanya dari satu sisi saja yang merasa. 

Aku manfaatkan waktu sekitar 5 tahun itu untuk mengenal dia lebih jauh. Memperhatikan dan memahami tidak hanya dari sisi cantik luarnya saja. Hingga pada akhirnya aku merasa bahwa hati ini tidak jatuh kepada cinta yang salah. Seperti ada sesuatu dari dalam dirinya yang membuatku yakin bahwa, “dia baik untuk masa depanku”. Masa SMA kita berteman dekat, bahkan bersahabat, namun maaf, perasaan ini justru semakin kuat. 

Hingga pada suatu titik aku merasa bahwa rasa ini sudah tak mampu lagi untuk ku tahan, sudah sangat banyak hal yang ingin aku sampaikan pada dia. Tetapi aku tidak bisa, aku tahu, bahwa ini belum waktunya. Pada saatnya nanti, aku ingin dia mengerti bahwa ujung dari perasaanku ini bukanlah hanya kalimat “aku suka kamu” saja, namun ada suatu perasaan yang sangat kompleks yang tidak mampu aku jelaskan hanya dalam waktu yang singkat. Aku mencoba menuliskan apa yang aku rasakan dalam sebuah buku catatan, dengan harapan, aku bisa menjelaskan maksud dari perasaanku dengan sejelas-jelasnya ketika dia membacanya. 

Beberapa hari setelah acara perpisahan SMA, bermodal buku catatan yang telah selesai aku tulis, aku menemui dia sore itu. Memberanikan diri untuk menyerahkan catatan yang cukup tebal dan berkata “baca ya”, kemudian aku pergi. Di akhir tulisanku, aku bertanya, apakah kamu setuju dengan semua rencanaku? Malam itu, jantungku berdebar, berdetak lebih kencang dari biasanya. Menunggu jawaban dengan dua kemungkinan, merelakan atau melanjutkan. 

Tak lama HPku pun berdering, dia bilang setuju, setuju untuk mencoba saling jatuh cinta dan berjalan bersama-sama merencanakan hal apa saja yang harus dilakukan setelah tahap ini. Aku selalu bersyukur atas banyaknya senang yang tercipta. Aku selalu merindukan tawa lepas dia ketika ia mendengar cerita recehku. Merasakan hal yang sama ketika sedih ataupun gembira. Hingga aku sadar, bahwa semua hal ini mengisyaratkan jika kita telah dengan baik menjalankan satu demi satu rencana kita. 

Menjalani berbagai hal bersama selama masa kuliah juga tidak semuanya menyenangkan. Lika-liku, putus nyambung juga pernah kita alami. Ditambah ketika aku harus pergi ke negara lain untuk melanjutkan pendidikan, dia selalu saja curiga dan khawatir aku akan berpaling kepada gadis chinese teman sekelasku. Pernah suatu masa, seorang laki-laki mapan dan tampan datang ke rumah dia dan berkata "aku siap meminang putri bapak". Ketika berita itu sampai padaku, aku mencoba tenang, merenung, berbisik kepada Allah tentang apa yg harus aku putuskan untuk seseorang yg berada 3500 km dari tempatku berdoa. 

Menggema kencang dalam hati "apakah ini saatnya untuk merelakan?". Namun masih terbesit lirih, semoga dia, dan begitu juga aku, masih bisa melanjutkan semua cerita yang selama ini telah kita jalani. Disaat genggaman itu perlahan-lahan kita lepaskan, ada sesuatu hal yang membuat kita saling raih dan mempererat kembali genggaman itu. Sama-sama saling membuktikan bahwa bentangan kisah yg telah kita lalui sangat pantas untuk kita hargai. Semua hal itu memaksa kita untuk belajar. Belajar bahwa kita harus bijak dalam menyikapi masalah yang pasti akan selalu terjadi. Belajar untuk menghargai tawa yang menyingkap sunyi ketika kita bersama. Semakin memantapkan hati, bahwasanya semua yang telah kita lalui ini sangat layak untuk dikekalkan. Aku sangat mengerti hatiku, namun entah mengapa, ketika dia bertanya, "kenapa kamu memilih aku?" aku tak pernah bisa memberikan alasan. Namun biarlah, tidak adanya alasan aku mencintai dia, agar aku juga tidak ada alasan apapun untuk meninggalkannya. 

Akhirnya, Agustus 2019 aku telah siap, siap untuk mengucap janji dan menerima amanah seorang bapak untuk bersungguh-sungguh menjaga putrinya seumur hidupku. Mengakhiri perjuanganku selama ini, untuk memulai perjuangan baru dengan dia bersama-sama. Kini dia telah menjadi ibu dari putraku. Dia memainkan peran yang dulu hanya bisa aku bayang-bayangkan. Kita mulai berjalan pelan-pelan untuk mengarungi tantangan yang sudah terbentang lebar didepan, menunggu untuk ditaklukkan. Selamat ulangtahun ibuk, semoga... ah susah menuliskan harapan-harapanya. Love you ❤️

Repost @ardywif's twitter thread 

Komentar